Mati Rasa dalam Jemaah Dakwah ( NAFSIYAH )
*Mati Rasa dalam Jemaah Dakwah*
— NAFSIYAH —
Dalam berdakwah kita butuh jemaah. Memilih meninggalkan jemaah dakwah justru memunculkan banyak masalah. Sementara Allah menyukai hamba-Nya yang berjuang dalam barisan rapi seraya berjemaah.
Kerap kali dalam jemaah kita temukan orang yang mati rasa. Beberapa indikatornya ialah tidak melakukan dakwah sama sekali, berdakwah jika luang dan sempat saja, dakwah tak lagi sebagai poros hidup, melalaikan perkara syariat, serta melanggarnya.
Mati rasa pada individu manusia disebabkan hatinya mati. Hati yang mati terjadi karena beberapa hal. Pertama, ia mengetahui Allah sebagai pencipta tetapi tidak menunaikan hak-Nya, hingga didapati pada dirinya kadang-kadang melaksanakan perintah Allah, kadang-kadang melanggarnya.
Kedua, ia membaca kitab Allah, tetapi tidak mengamalkan isinya.
Ketiga, ia mengaku memusuhi setan, tetapi ia mengikuti langkah-langkah setan.
Keempat, ia mengaku mencintai Rasulullah ﷺ, tetapi meninggalkan sunahnya.
Kelima, ia mendambakan surga, tetapi ia tidak mengerjakan hal-hal yang mengantarkannya ke surga.
Keenam, ia mengaku takut neraka, tetapi tidak menghindari perbuatan dosa atau maksiat.
Ketujuh, ia menyadari kematian itu niscaya datangnya, tetapi tidak bersiap-siap menghadapinya.
Kedelapan, ia sibuk mempersoalkan cela, kekurangan, dan kesalahan orang lain sementara ia abai terhadap cela, kekurangan, dan kesalahan diri sendiri.
Kesembilan, ia mendapatkan rezeki dari Allah, tetapi lupa bersyukur pada-Nya.
Kesepuluh, ia mengebumikan jenazah saudaranya, tetapi tidak mengambil pelajaran darinya.
Jika individu yang memiliki hati mati berada dalam jemaah dakwah, maka ia tidak akan mampu bertahan lama, akan mengeluarkan dirinya atau bersama-sama dengan pemilik hati yang mati lainnya.
Kita juga bisa menemukan sikap dari seseorang yang telah mati rasa dalam jemaah dakwah,
1. Hilangnya sikap pemaaf darinya. Hal ini disebabkan ia sering menemukan kekeliruan atau kesalahan sesama saudara sejemaah. Seharusnya, ia melakukan amar makruf nahi mungkar. Mengingatkan secara personal, lalu menyerahkan segala urusan kepada Allah.
Tercela jika menjadi seorang yang pendendam atas kesalahan seseorang karena kelalaian atau pelanggaran yang ia lakukan. Jangan sampai membuat kita pergi meninggalkan jemaah dakwah. Insyaallah, jemaah dakwah tak akan kehabisan orang-orang yang baik dan saleh, tetaplah membersamainya dengan mudah memaafkan saudara sejemaah.
2. Sulit untuk mengalah, padahal dakwah bukanlah ajang kompetisi dengan iming-iming hadiah. Jemaah dakwah ialah tempat untuk mengasah keikhlasan. Terkadang, tidak semua harapan kita diakomodir oleh pemilik kewenangan. Hal yang wajar, karena memang tidak mungkin memuluskan semua kepentingan setiap individu dalam jemaah.
Di sinilah letaknya seni dalam berjemaah. Kita diminta untuk bersabar jika belum menemukan keputusan yang kita harapkan. Namun, tak pula berkecil hati. Insyaallah, setiap keputusan yang diambil oleh pemilik kewenangan telah dipertimbangkan baik buruknya bagi seluruh anggota jemaah.
3. Membangun kubu dalam jemaah. Jika membangun kelompok-kelompok kerja dakwah tak mengapa, malah justru baik untuk dakwah. Namun, jika membangun kubu untuk mengumpulkan orang-orang yang kecewa atau pernah dikecewakan dalam dakwah, bukanlah tindakan terpuji.
Hal tersebut malah akan makin memperkeruh hubungan sesama anggota jemaah. Seharusnya hentikan melakukan hal tersebut. Ingatlah kembali tujuan berdakwah. Bukan untuk eksistensi diri melainkan demi eksistensi Islam dan kemuliaan agama-Nya.
4. Menyendiri di tengah jemaah. Menganggap dengan kesendirian lebih baik dari pada bersama dengan anggota jemaah lainnya. Ia merasa jemaah tak lagi memuaskannya, sering dikecewakan, dan ia pun telah sibuk dengan urusannya sendiri. Namun, ia melupakan bahwa hidup berjemaah jauh lebih baik. Ada teman seperjuangan yang menyertai, siap menunjukkan dan meluruskan kesalahan, serta membantu dalam kebenaran.
Saudaraku, Ingatlah kembali sabda Rasulullah ﷺ, “Ada orang-orang dari berbagai suku dan kabilah, tidak ada hubungan kerabat dekat antara mereka, mereka saling mencintai karena Allah dan tulus. Di hari kiamat Allah akan meletakkan bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya lantas Allah mendudukkan mereka pada mimbar-mimbar itu. Allah jadikan wajah-wajah dan baju-baju mereka dari cahaya. Saat manusia tersentak di Hari Kiamat, mereka tidak tersentak. Mereka itu wali-wali Allah yang tidak takut dan tidak bersedih hati.” (HR Ahmad).
Posting Komentar untuk "Mati Rasa dalam Jemaah Dakwah ( NAFSIYAH )"