Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cintailah Gurumu dengan setulus hatimu yang dalam


Cintailah Gurumu dengan setulus hatimu yang dalam

Ciri Guru Mursyid

“Yang disebut seorang Mursyid itu, minimal dia harus hadir pada tiga tempat untuk muridnya; Pertama, pada saat muridnya menghadapi sakaratul maut, Mursyid harus bisa berdiri di antara muridnya dan Malikil Maut itu. Kedua, saat muridnya menghadapi pertanyaan di dalam kubur, Mursyid harus berada di antara muridnya dan Malaikat Munkar-Nakir. Ketiga, saat muridnya melewati jembatan shirâthal mustaqîm, Mursyid harus menggandeng tangan para muridnya sebagai jaminan keselamatan sampai kepada keridhaan AlLâh SWT., kalaulah seorang Mursyid tidak dapat hadir pada tiga tempat itu, “maka Mursyid tersebut tidak ada apa-apanya dalam pandangan kami.” (Syeikh Ahmad Kabir Rifa’i, al-Majalis al-Rifai’iyah)

Mursyid Cermin Diri Tiap Murid

Kualitas spiritual Mursyid tidak berhenti dalam pertanggungjawaban itu saja, melainkan terus bertambah seiring dengan perjalanan kemursyidannya. Mursyid terus dituntut komitmennya dalam membimbing para muridnya. Tiada yang diharapkan oleh Mursyid dari diri muridnya, kecuali keikhlasan para murid dalam menerima ajaran dan wejangan spiritualnya. Begitu juga, para murid tidak dituntut untuk tidak menerima apapun dari Mursyidnya, kecuali hanya keikhlasan Mursyid dalam membimbing spiritual para muridnya. Bukanlah mudah, bahkan sederhana komitmen ini dijalankan oleh kedua belah pihak, tetapi cukuplah berat dalam prakteknya. Janganlah heran, kalau ada seorang Guru yang sering mengatakan bahwa, dirinya ingin menciptakan para muridnya menjadi Guru juga, sehingga materi-materi kespiritualan diberikan secara penuh, besar harapan nanti para muridnya dapat mengajarkan sesuai dengan ajaran yang telah diterimanya langsung dari Gurunya, namun apa yang terjadi, ternyata tidak berjalan dengan lancar, berbagai kegiatan “duniawi” telah menghabiskan waktu untuk menyampaikan pengajaran spiritualnya, para murid pun melihat perjalanan seperti ini, tidak bisa bertahan lama untuk berada di lingkungannya, sehingga harus mencari lagi seseorang yang memang punya waktu penuh untuk membimbing para muridnya. Begitu juga, banyak murid yang telah bertekad untuk ikhlas dalam menerima pengajaran yang disampaikan oleh Gurunya, setelah berjalan beberapa saat, ternyata tidak berjalan lagi dengan baik. Kehidupan dunianya telah mengikis keikhlasan yang pernah ditanamkan dalam dirinya. Kemilau dunia yang penuh fatamorga telah menyilaukan pandangan batin murid kepada komitmen mulia yang telah disampaikan pada Gurunya.

Ketika kedua komitmen itu bertemu, maka cemistry spiritual tumbuh dengan kuat, dan menghasilkan energi dahsyat yang dapat diberdayakan untuk berbagai kreatifitas kehidupan. Nah, siapakah yang telah dapat menyatukan komitmen mulia ini? Kesungguhan dalam menyatukan keinginan ini akan menemui cemistrinya, ketika kesungguhan untuk mencapai puncaknya. Ingatlah bahwasannya AlLâh SWT. telah meneguhkan hati-hati kekasih-Nya, bahwa barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam mencari Aku, maka Aku akan menunjukkan jalannya. Peristiwa pertemuan chemistry ini terjadi, bukan karena hasil kesungguhan kita saja, melainkan para “orangtua-orangtua” yang telah mendahului hidup ikut andil dalam menyatukan kehidupan spiritual. Ketika seorang anak manusia berjalan dengan sungguh-sungguh dalam spiritual, maka kesempatan emas yang akan diraih oleh dirinya, serta keluarga yang masih hidup dan telah mendahuluinya akan mendapatkan percikannya, sehingga mereka senantaisa mendoa’kan anak tersebut.

Mursyid menjadi suritauladan bagi kehidupan muridnya, sehingga diri Mursyid adalah diri murid juga. Dengan adanya tekad seperti ini, pencerahan spiritual yang akan diraih oleh murid terus bergulir bak bola salju yang bergerak cepat. Tidaklah mudah untuk menanamkan tekad ini, bahkan sekalipun telah tertanam, untuk menyiraminya dibutuhkan kesabaran dalam memahami eksistensi Mursyid bagi dirinya murid. Tekad ini menuntut komitmen juga terhadap Guru agar senantiasa menjaga kemursyidannya dengan tepat dan benar. Sedikit melenceng dari jalurnya, maka badai yang menimpa dirinya tidak saja dirasakan oleh dirinya Guru, melainkan para muridpun ikut merasakan pengaruh dari badai spiritual tersebut. Jadi, tidaklah “enak” juga untuk menjadi seorang Guru, komitmen besar menunggu di depannya. Pantauan dari rahasia dirinya berjalan cukup ketat, tidak ada lagi ruang untuk “bersembunyi” dari pantauannya, begitu juga waktu, tidak ada satu detik pun untuk lengang dari pantauannya. Pemantauan yang tidak terikat oleh ruang dan waktu terfokus pada diri seorang Guru dari rahasia dirinya yang agung. Teguran keras akan datang pada diri seorang Guru, manakala keluar dari jalan yang telah ditentukannya, bahkan kalau “melanggar” sedikit pun, bayarannya sangatlah mahal, nilai merah bagi raport dirinya akan diterimanya. Dan untuk perbaikan yang nilai merah itu harus dibayar juga dengan bayaran spiritual yang mahal, bahkan ada sebuah ungkapan; “jatuhnya seorang Guru tidak seberat dengan jatuhnya seorang murid. Kejatuhan Guru harus dibayar dengan seribu kejatuhan seorang murid.” Wahai guru-guruku yang mulia, aku selalu mendoakan dirimu, agar rahasia dirimu yang penuh keagungan senanitasa memelihara dirimu dari fatamorgana keduniaan. Itulah kira-kira harapan seorang murid pada Gurunya.

Mursyid yang telah menjadi cermin kehidupan bagi para muridnya menambah nilai plus tersendiri bagi diri Guru dan muridnya dalam waktu yang sama. Manakala cermin itu dipandang sebagai nilai yang trasedentalis, maka eksistensi Guru menaik ke atas dalam beberapa tingkatan. Guru, dalam kondisi seperti ini, dituntut untuk selalu kuasa dalam membimbing muridnya yang sedang menaiki jenjang spiritual. Keasikan seorang murid pada dirinya sendiri—ketika telah sampai menemukan sejati dirinya—akan tidak perhatian lagi pada Gurunya yang dhahir. Guru yang batin telah menjadi pujaannya yang sejati, ketika terjadi demikian, Guru menaik pemahaman eksistensi rahasia dirinya, sehingga masih tetap di atas perjalanan spiritualnya dibanding dengan muridnya. Bahkan ketika, seorang murid menaik spiritualnya lebih tinggi dari Gurunya, maka seorang Guru yang bijakana dan ikhlas akan mengatakakan juga, bahwa muridnya telah naik ke jenjang spiritual yang tinggi dari dirinya sendiri. Pengakuan seperti ini haruslah diikrarkan oleh Gurunya, tanpa harus menjaga image yang selama ini dibangun. Dengan pengakuannya bertambah mulia juga guru tersebut dalam pandangan murid yang sedang menaik jenjang spiritualnya. Kita ingat bagaimana Syeikh Yusuf al-Makassari ketika menapaki kaki spiritualnya di tarekat khalwatiyah, dalam waktu singkat ia naik spiritualnya di atas gurunya, maka Gurunya menyatakan dengan penuh kerendahan hati, bahwa Syeikh Yusuf al-Makassari telah naik spiritualnya di atas dirinya.

Kepribadian Mursyid yang telah menjadi cermin diri murid akan membawa pengaruh besar terhadap perjalanan hidup para muridnya. Keberkahan yang selalu mengalir dalam diri Mursyid, karena masuk dalam komunitas para kekasihnya, akan mengalir dengan sendirinya pada setiap diri muridnya yang telah menjadikan diri Mursyid adalah cermin dari dirinya murid.

Selain pemahaman ini berkembang terus, adalah ada satu pemahaman, bahwa kemampuan Mursyid bergantung pada pemahaman/keyakinan murid kepada dirinya Mursyid. Itulah yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. bagi para sahabatnya. Untuk  merealisasikan pertalian suci ini, seyogyanya antara Mursyid dan murid begitu juga antara murid dan Mursyid dibina secara suci juga, sehingga menularkan kemajuan spiritual yang cepat dan selalu naik jenjang peringkat spiritualnya. Kalau telah berjalan bagaikan gula dan manisnya, bagaikan lautan dan ombaknya, maka di mana lagi seorang murid akan “tergelincir” ke jurang kenestapaan, dalam meningalnya pun akan dipahami dengan meninggalnya seseorang yang dikasihi oleh Sang Kekasih. Demikianlah curahan kasih/tanggungjawab Guru kepada muridnya yang dialirkan semenjak hidupnya, sehingga ketika menghampiri akhir kehidupan dapat ditemui dengan baik, bahkan kematian bagi diri murid telah menjadi sebuah kehidupan baru yang menjanjikan keabadian hidupnya yang lebih baik dan sempurna dari kehidupan semulanya.

Wahai para pencinta keabadian

Cintailah Gurumu dengan setulus hatimu yang dalam

Gantungkanlah dirimu pada-Nya

Keselamatan pun akan menghampirimu

Pahamilah Guru sebagai dirimu yang paripurna

Agar kelak pertalian batin ini bersua kembali dalam kehidupan yang abadi

Hanya engkaulah,

wahai para kekasih yang dapat merealisasikan ini

Singkirkan debuh keniscayaan yang penuh dengan nilai nisbi

Kebenaran akan maujûd, sekarang dan sekarang, bukan saja kelak di sana.

Aku selalu berada dengan dirimu,

wahai kekasihku

Jadikanlah Aku sebagai Aku

Sehingga Aku berlabuh dari diri Aku yang dalam

Tiadalah Aku kecuali Aku

Jadilah Aku dalam dirimu…  


Mursyid bukan sekedar dirinya yang dhahir yang telah bertemu sekarang ini dunia. Mursyid merupakan batinnya murid yang telah maujûd dalam pandangan lahir kehidupan murid. Batinya murid yang selama ini tidak disadari telah ada dalam kehidupannya, kini telah hadir dalam rupa Gurunya yang membimbing spiritualnya. Terimalah Gurumu sebagai dirimu yang terdalam, sehingga kelak menampakkan keagungan dirimu yang hakiki yang selama ini telah terlupakan dalam pikiranmu.

Dengan pemahaman demikian, “keunikan” yang akan terwujud dari diri Guru terlihat oleh dirinya murid, dan murid pun terus mengenal rahasia dirinya yang telah ada di hadapan matanya. Seiring dengan waktu serta proses kesabaran yang terus ditempa, rahasia dirinya yang terdalam—atas bimbingan Guru—akan dijumpainya dengan tepat. Waktu inilah yang ditunggu-tunggu oleh jutaan para pencari di bumi ini. Berbahagialah para kekasih AlLâh SWT. yang teleh berjumpa dengan-Nya. Perjumpaan ini, selanjutnya akan merubah konstruksi spiritual diri seorang murid, kelahiran dan kematian dapat dapahami sebagai awal dan akhir yang dapat diciptakan kapan saja, sesuai kehendak  hatinya.

Wallahu alam bishowab




Posting Komentar untuk "Cintailah Gurumu dengan setulus hatimu yang dalam"